(Ibu)kota
Kalau Kota Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Pula, Jogja lahir ketika Tuhan jatuh cinta. Maka, barangkali Tuhan menciptakan Kota Jakarta dan seisinya ketika sedang misuh-misuh.
Mungkin, itulah sebabnya Tanah Bandung rakyatnya elok dan berbudi pekerti luhur. Atau barangkali, itulah sebabnya mengapa setiap sudut kota Jogja dipenuhi lampu-lampu yang demikian membuat Jogja terlihat menawan.
Tersisalah Jakarta, dengan kesemrawutan jalanannya. Pula, dengan hiruk-pikuk penghuninya yang sibuk mengais harapan.
Menjadi kuat itu satu-satunya cara untuk bertahan di kota yang minus kehangatan. Ibukota, katanya. Tapi, tidak ada ibu di dalamnya. Tidak ada sisa-sisa kasih sayang untuk orang yang menyerah dengan keadaan.
"Yang lemah menyerah, yang kuat bertahan." Barangkali, adalah pemicu kobaran semangat tiap individu yang mengadu nasib sepanjang hari. Kemudian menunggu hari libur untuk beristirahat, hanya untuk menemukan bahwa nasib akan terus menghantamnya, tak peduli Ia mati berdarah-darah nantinya.
Kata orang, Jakarta dan seisinya adalah gambaran kesemrawutan, ketidak adilan, dan konotasi buruk yang kian hari kian memenuhinya.
Jakarta cemburu. Mengapa hanya Jogja yang punya kisah romansa yang indah di dalamnya? Mengapa hanya Bali surganya para pelancong yang sibuk bercumbu mesra?
"Semesta tidak adil," katanya. Mengapa hanya Jogja yang begitu diagungkan namanya dalam bait puisi dan nada. Pun dengan kota lain yang dijadikannya tempat pelarian.
Padahal, di sini, Aku menemukan sekumpulan keindahan Jakarta. Nampak di netra, sepasang remaja yang menikmati senja dengan secangkir kopi, ditemani suara mesin kendaraan yang bersahut-sahutan. Bahwa, di tengah sesak, Jakarta masih memeluknya.
Jakarta itu menarik, setidaknya bagiku.
Walau lampu temaramnya tak seindah milik Jogja. Walau penghuninya tidak seramah penghuni Bandung. Jakarta indah dengan sekelumit kisah yang mengisinya.
Kata orang, Jakarta itu dingin, angkuh. Tidak sekalipun Ia dihiasi kehangatan.
Namun, bagi beberapa yang lain, Jakarta adalah tempat terbaiknya untuk melarikan diri, dari realita yang menghantam tanpa henti. []
Komentar
Posting Komentar